Istana Bogor (Foto: Travel Tempo.co) |
Istana Bogor adalah satu dari enam istana kepresidenan Indonesia yang dikhusukan sebagai rumah dinas presiden selama masa jabatannya. Sebelum dijadikan kediaman bagi Presiden Indonesia dan keluarganya, Istana Bogor pernah menjadi hunian bagi Gubernur Jenderal di masa penjajahan Belanda. Bagaimana sejarahnya?
Dikutip dari STT Bandung, Istana Bogor, yang kini dijadikan
rumah dinas presiden Indonesia tidaklah dibuat setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, melainkan sudah ada zaman kolonial yang dikenal
dengan nama Paleis Buitenzorg.
Istana
Kepresidenan Bogor awalnya bermula dari orang-orang Belanda yang bekerja di
Batavia (kini Jakarta) yang merasa bahwa Batavia sudah terlalu ramai dan panas
sehingga mereka membutuhkan tempat lain untuk beristirahat. Mereka akhirnya mencoba
mencari tempat peristirahatan yang sejuk dan tidak seramai Batavia untuk
dijadikan hunian.
Dikutip dari Harian Kompas, 28 Agustus 1975, Gubernur
Jenderal Belanda, G.W. Baron van Imhoff, juga ikut melakukan pencarian seperti
itu. Hingga pada 10 Agustus 1744, ia berhasil menemukan sebuah tempat strategis
di Bogor yang bernama Kampong Baroe.
Pada 1745, akhirnya Gubernur Jenderal van Imhoff mulai
melakukan pembangunan di kampung tersebut dengan sketsa yang ia buat sendiri
dengan mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat
kota Oxford di Inggris.
Bangunan tersebut kemudian diberi nama Buitenzorg yang
berarti bebas masalah atau kesulitan. Dilansir dari laman resmi Sekretariat
Negara, penamaan Buitenzorg tersebut juga diberikan untuk wilayah perkampungan
di sekitarnya, yang kini dikenal sebagai kota Bogor.
Istana
Bogor yang dibangun van Imhoff ini sempat mengalami kerusakan cukup berat pada 1750-1754 saat terjadinya perang Banten di bawah
pimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Saat itu, Kampong Baroe diserang dan
dibakar oleh pasukan Banten hingga turut merusak bangunan Istana Bogor. Pemberontakan tersebut
berakhir dengan kekalahan pasukan Banten yang mengakibatkan Kesultanan Banten
menjadi rampasan Kompeni.
Setelah pemberontakan tersebut, bangunan Istana Bogor yang
rusak berat kembali diperbaiki dengan tetap mempertahankan arsitekturnya. Namun,
pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, bangunan Istana Bogor sering mengalami
perombakan diakibatkan pergantian gubernur jenderal Belanda saat itu.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels
(1808-1811) saja, bangunan Istana Bogor diperluas dengan menjadikan gedung
induk dua tingat serta penambahan lebar ke sebelah kiri dan sebelah kanan gedung.
Kemudian pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van
der Capellen (1817-1826), bangunan Istana Bogor kembali mengalami perombakan
besar. Selain dengan didirikannya menara berbentuk dome di tengah-tengah gedung
induk yang berfungsi sebagai tempat mengibarkan bendera Belanda serta memantau
keamanan di sekeliling istana, pada masa pemerintahannya jugalah lahan di
sekeliling istana dijadikan Kebun Raya yang saat ini kita kenal dengan Kebun
Raya Bogor. Kebun Raya yang didirikan oleh C.G.C. Reinwardt, yang pada saat itu
menjabat sebagai Direktur Urusan Pertanian, Kerajinan dan Ilmu-Ilmu di Hindia
Belanda akhirnya diresmikan pada 18 Mei 1817 dengan nama ’s Lands
Plantentuin te Buitenzorg.
Namun, bangunan Istana Bogor kembali mengalami rusak berat
saat terjadinya gempa bumi akibat meletusnya Gunung Salak pada 10 Oktober 1834.
Setelah kejadian tersebut, Gubernur Jenderal Albertus Yacob Duijmayer van
Twist, pada masa pemerintahanya (1851-1856) merubuhkan seluruh bangunan Istana
Bogor yang rusak terkena gempa, dan membangun bangunan baru dengan mengambil
arsitektur Eropa Abad IX. Pada masa pemerintahannya jugalah dibangun dua buah
jembatan penghubung Gedung Induk dan Gedung Sayap Kanan serta Sayap Kiri yang
dibuat dari kayu berbentuk lengkung.
Istana Bogor selesai dibangun pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856-1861) dan ditetapkan menjadi
kediaman resmi para Gubernur Jenderal Belanda sembilan tahun setelahnya,
tepatnya pada 1870.
Gubernur Jenderal Belanda terakhir yang menghuni Istana Bogor
adalah Gubernur Jenderal Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van
Starckenborg Stachouwer, yang kemudian secara terpaksa menyerahkan istana ini
kepada Jenderal Imamura pada masa pendudukan Jepang. Sampai akhir masa Kolonial
Belanda, Sebanyak 44 gubernur Jenderal Belanda sudah pernah menjadi penghuni
Istana Bogor ini.
Saat masa pendudukan jepang, Istana Bogor beralih menjadi
markas tentara Jepang dan ruang bawah tanahnya dimanfaatkan oleh tentara Jepang
untuk memenjarakan orang-orang Belanda.
Pada akhir Perang Dunia II, Sekitar 200 pemuda Indonesia yang
tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) menduduki Istana Bogor sambil
mengibarkan bendera Merah Putih sebagai tanda kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, tak lama setelah itu para pemuda dipaksa keluar
dari istana karena adanya serbuan dari tentara Ghurka. Istana Bogor kembali diserahkan
kepada pemerintah Republik Indonesia pada akhir 1949 dan mulai dipakai oleh
pemerintah Indonesia sebagai Istana Kepresidenan pada Januari 1950.
Begitulah sejarah panjang bagaimana istana Jenderal Belanda
tersebut kini dijadikan tempat peristirahatan bagi Presiden Indonesia.
http://p2k.itbu.ac.id/ind/2-3066-2950/Kebun-Raya-Bogor_23812_itbu_kebun-raya-bogor-itbu.html
Komentar
Posting Komentar